![](https://kampungpasarmodal.com/upload/11ca21f04b-home-banner.jpg)
CLOSE
US Berpotensi Banjir Liquiditas, bagaimana Rupiah dan IHSG?
Indeks pada perdagangan kemarin ditutup menguat pada level 6651. Ditransaksikan dengan volume yang cukup ramai jika dibandingkan dengan rata-rata volume 5 hari perdagangan. Indeks ditopang oleh sektor Basic Materials (0.933%), Financials (0.825%), Consumer Non-Cyclical (0.745%), Transportation & Logistic (0.682%), Infrastructures (0.62%), Industrials (0.368%), Energy (0.331%), Properties & Real Estate (0.252%), Healthcare (0.182%), dan di bebani oleh Consumer Cyclicals (-0.168%), Technology (-0.514%) yang mengalami pelemahan walaupun belum signifikan. Indeks pada hari ini diperkirakan akan bergerak pada range level support 6630 dan level resistance 6675. Sebaliknya giliran rupiah yang melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) mengakhiri penguatan dua hari beruntun, sementara Surat Berharga Negara (SBN) nyaris semua tenor mengalami penguatan. Penguatan IHSG mengikuti pergerakan mayoritas bursa saham Asia lainnya merespon hasil pertemuan Presiden AS Joe Biden dengan Presiden China XI Jinping. Hasil pertemuan tersebut dan beberapa faktor lain yang bisa mempengaruhi pergerakan pasar hari ini seperti paket kebijakan fiskal AS bernilai triliunan dolar.
Wall Street yang kembali menguat pada perdagangan Selasa tentunya mengirim sentimen positif ke pasar Asia hari ini. IHSG berpeluang kembali melanjutkan penguatan. Ketika sentimen pelaku pasar sedang bagus, aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi biasanya akan menjadi incaran. Apalagi penguatan Wall Street ditopang oleh data penjualan ritel yang apik, menunjukkan kuatnya perekonomian Paman Sam.
Sentimen Positif kedua yaitu Presiden AS Joe Biden sudah menandatangani rancangan undang-undang (RUU) infrastruktur senilai US$ 1 triliun atau setara Rp 14.200 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Dengan ditandatanganinya RUU dan menjadi Undang-Undang tersebut maka pendanaan untuk proyek infrastruktur akan cair dan tentunya bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi AS lebih tinggi lagi. Paket kebijakan infrastruktur yang sudah cair, dan paket ekonomi yang akan cair tentunya berdampak bagus bagi perekonomian AS yang bisa memberikan efek positif ke negara lainnya. Ketika negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut bangkit, negara lainnya juga akan terkerek.
Namun, Sentimen negatif berasal dari potensi tingginya inflasi di US juga. Departemen Tenaga Kerja AS pada Rabu (10/11) melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990. Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991. Kebijakan fiskal era Biden tentunya membuat perekonomian AS kembali "banjir" duit, sehingga ada risiko inflasi akan tetap tinggi, bahkan tidak menutup kemungkinan semakin tinggi lagi.
Jika itu terjadi, maka The Fed bisa agresif dalam menaikkan suku bunga. Saat ini saja, pelaku pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali tahun depan. Tentunya, dalam beberapa bulan ke depan jika inflasi masih tetap tinggi atau bahkan meninggi, The Fed bisa jadi diperkirakan akan lebih agresif lagi.
Kenaikan suku bunga yang agresif tentunya bisa menimbulkan gejolak di pasar finansial global, termasuk Indonesia. Aliran modal bisa keluar dari pasar obligasi, dan rupiah berisiko merosot. Guna meredam hal tersebut, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan menaikkan suku bunga yang bisa berdampak kurang bagus bagi perekonomian Indonesia yang masih memerlukan stimulus moneter.
PT. Erdikha Elit Sekuritas | Member of Indonesia Stock Exchange
Gedung Sucaco lt.3 Jalan Kebon Sirih kav.71
Jakarta Pusat 10340, Indonesia
Website : www.erdikha.com